Ulasan Lengkap Seputar Bangkai

Islam dengan kesempurnaan syari’atnya sangat memperhatikan perkara yang langsung bersinggungan dengan kehidupan manusia apalagi bersinggungan dengan halal dan haram. Sebab makanan yang masuk pada perut seseorang mempengaruhi akhlak dan dikabulkannya do’a, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik,tidak menerima kecuali yang baik,dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,”Hai rasul-rasul,makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh .Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Mu’minun: 51)

Dan Ia berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman,makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (Qs. al-Baqarah: 172)

Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: Ya Rabb,Ya Rabb, sedang makanannya haram,minumannya haram,pakaiannya haram,ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!” (1)

Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius, khususnya dizaman kiwari ini, dimana kaum muslimin telah jauh dari ajaran syari’atnya dan telah menganggap ringan permasalahan ini. Sehingga ditemui banyak dijual dipasar-pasar hewan sembelihan yang tidak disembelih secara syari’at alias bangkai.

Agar kita terhindar darinya perlu sekali diulas permasalahan ini.

Pengertian Bangkai

Bangkai dalam bahasa Arab disebut Al-Mayyitah.

Al-Mayyitah dalam pengertian bahasa Arab adalah sesuatu yang mati tanpa disembelih.(1) Sedangkan dalam pengertian para ulama syari’at, Al-Mayyitah (bangkai) adalah hewan yang mati tanpa sembelihan syar’i, dengan cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan manusia dan terkadang dengan sebab perbuatan manusia apabila dilakukan tidak sesuai sembelihan yang diperbolehkan. (2)

Dengan demikian definisi bangkai mencakup:

  1. Yang mati tanpa disembelih, seperti kambing yang mati sendiri.
  2. Yang disembelih dengan sembelihan tidak syar’i, seperti kambing yang disembelih orang musyrik.
  3. Yang tidak menjadi halal dengan disembelih, seperti babi disembelih seorang muslim sesuai syarat penyembelihan syar’i. (3)

Para ulama memasukkan kedalam kategori bangkai semua anggota tubuh yang dipotong dari hewan yang masih hidup dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ

“Semua yang dipotong dari hewan dalam keadaan masih hidup adalah bangkai.” (HR Abu Daud no. 2858dan Ibnu Majah no. 3216 dan dishahihkan Al Albani dalam shahih sunan Abu Daud).

Dengan demikian hukumnya sama dengan hukum-hukum bangkai.

Kenajisan Bangkai

Menilik kepada keadaan hewan bangkai, dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1.Yang ada diluar kulit seperti bulu dan rambutnya serta sejenisnya. Hukumnya suci tidak najis (4), didasarkan pada firman Allah:

“Dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (Qs. Al Nahl 16:80)

Ayat ini umum meliputi hewan yang disembelih dan tidak disembelih. Juga Allah menyampaikan ayat ini untuk menjelaskan karunia-Nya terhadap hamba-Nya yang menunjukkan kehalalannya. (5)

2. Bagian bawah kulitnya seperti daging dan lemak. Hukumnya najis secara ijma’ (6) dan tidak dapat disucikan dengan disamak. (7)

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

Katakanlah:”Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang disembelih atas nama selain Allah.” (Qs. Al An’am 6: 145)

Dikecualikan dalam hal ini:

a. Bangkai ikan dan belalang, didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no.1118).

b. Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat, lebah, semut dan sejenisnya, didasarkan kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً

“Apa bila seekor lalat hinggap di minuman salah seorang kalian maka hendaknya menenggelamkannya kemudian membuangnya, karena ada pada salah satu dari kedua sayapnya penyakit dan yang lainnya obatnya.” (HR Al Bukhari no. 3320).

c. Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Ini semuanya suci sebagaimana dijelaskan imam Al Bukhari dari Al Zuhri tentang tulang bangkai seperti gajah dan lainnya dengan sanad mu’allaq dalam shahih Al Bukhari (1/342). Imam Al Zuhri menyatakan: Aku telah menemui sejumlah orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai sisir dan berminyak dengannya, mereka memperbolehkannya. (8)

d. Bangkai manusia dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

“Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari)

Syeikh Majduddin Ibnu Taimiyah menyatakan: Ini umum mencakup yang hidup dan yang mati. Al-Bukhari menyatakan: Ibnu Abas menyatakan: seorang muslim itu tidak najis baik masih hidup atau setelah mati. (9)

Beliaupun (syeikh Majduddin Ibnu Taimiyah) membuat bab dalam kitab Al Muntaqa: Bab yang menerangkan bahwa muslim itu tidak najis. (10)

Sedangkan tubuh orang kafir terjadi perselisihan tentang kesuciannya dan yang rojih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan kesuciannya, dengan dasar diperbolehkannya menikahi wanita ahlu kitab. Padahal jelas akan bersentuhan dan keringatnya akan menempel dan ini tidak dapat dielakkan khususnya ketika berhubungan intim.

Adapun firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (Qs. 9: 28)

Maka najis disini adalah karena keyakinan dan joroknya mereka. Wallahu A’lam.

1. Kulitnya.
Hukum kenajisannya mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci maka kulitnyapun suci dan bila najis maka kulitnyapun najis. Diantara contoh yang suci adalah ikan dengan dasar firman Allah:

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.” (Qs. 5:96)

Ibnu Abas menyatakan: adalah yang diambil hidup-hidup dan  adalah yang diambil sudah mati.
Sehingga kulitnyapun suci. (11)

Hukum Memakan Bangkai

Syariat islam telah mengharamkan memakan bangkai dengan dasar pengharaman yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. Pengharaman bangkai dalam Al Qur’an ada dalam beberapa ayat, diantaranya:

Firman Allah:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (Qs. Al Baqarah 2:173)

Firman Allah:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (Qs. Al Maidah 5:3)

Dan firman Allah:

“Katakanlah:”Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am 6:145)

Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

وَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

“Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendapati seekor bangkai kambing yang diberikan dari shodaqah untuk Maula (bekas budak) milik Maimunah lalu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: Mengapa tidak kalian manfaatkan kulitnya. Mereka menjawab: Inikan bangkai. Beliau bersabda: Yang diharamkan hanyalah memakannya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Oleh karena itu kaum muslimin sepakat tentang larangan memakan bangkai dalam keadaan tidak darurat. (12)

Yang Dihalalkan dari Bangkai

Semua hukum memakan bangkai diatas berlaku pada semua bangkai kecuali dua jenis:

1. Bangkai hewan laut. Didasarkan kepada firman Allah:

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.” (Qs. 5: 96)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits Abu Hurairoh radhialllahu ‘anhu yang berbunyi:

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Seorang bertanya kepada Rasulullah dengan menyatakan: Wahai Rasulullah! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, apabila kami berwudhu dengannya, maka kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rasululloh shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Sunan Al Arba’ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ no.9 dan Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no. 480)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no.1118)

Hal ini dikuatkan dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan bangkai ikan yang ditemukan dipantai, sebagaimana dijelaskan Jabir dalam pernyataan beliau:

غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا لَمْ نَرَ مِثْلَهُ يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ فَأَكَلَهُ

“Kami berperang pada pasukan Al Khobath (dinamakan demikian karena mereka memakan dedaunan yang gugur dari pohonnya) dan yang menjadi amir (panglima) adalah Abu Ubaidah, lalu kami merasa sangat lapar. Tiba-tiba lautan melempar bangkai ikan yang tidak pernah kami lihat sebesar itu, dinamakan ikan Al Anbar (paus). Lalu kami memakan ikan tersebut selama setengah bulan, lalu Abu Ubaidah memasang salah satu tulangnya lalu orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika kami sampai diMadinah, kami sampaikan hal tersebut kepada Nabi n lalu beliau bersabda: Makanlah! Itu rizki yang Allah karuniakan. Berilah untuk kami makan bila ada (sekarang) bersama kalian. Lalu sebagian mereka menyerahkannya dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam memakannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

2. Belalang. Didasarkan pada hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang berbunyi:

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no.1118).

Hal inipun didukung oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan belalang seperti dikisahkan Abdullah bin Abi ‘Aufa:

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَوْ سِتًّا كُنَّا نَأْكُلُ مَعَهُ الْجَرَادَ

Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan, kami memakan bersama beliau belalang.” (HR Al Jamaah kecuali Ibnu Majah)

Demikian juga para ulama sepakat membolehkan memakan belalang.

Hukum Menjual Bangkai

Syari’at islam melarang menjual bangkai sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khomer (miras), bangkai, babi dan patung berhala. Lalu ada yang berkata: Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat (mendempul) perahu, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu. Maka beliau menjawab: Tidak boleh! Itu haram. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda ketika itu: Semoga Alah mencelakakan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya , lalu mereka meleburnya (menjadi minyak) kemudian menjualnya dan memakan hasil jualnya.” (HR Al Jama’ah)

Larangan ini bersifat umum pada semua bangkai termasuk manusia, kecuali hewan laut dan belalang. Larangan menjual bangkai manusia mencakup muslim dan kafir. Oleh karena itu Imam Al Bukhari membuat Bab dalam kitab shahihnya dengan judul: Bab Thorhu Jaif Al musyrikin Wala Yu’khodz Lahum Tsaman (Bab yang menjelaskan membuang bangkai orang-orang musyrikin dan tidak mengambil untuknya tebusan harta).

Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap bab ini dengan menyatakan: pernyataan imam Al Bukhari: (Tidak mengambil untuknya tebusan harta) mengisyaratkan kepada hadits Ibnu Abas yang berbunyi:

” أَنَّ الْمُشْرِكِينَ أَرَادُوا أَنْ يَشْتَرُوا جَسَدَ رَجُلٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَبَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَهُمْ إِيَّاهُ ” أخرجه الترمذي وغيره

Sungguh kaum musyrikin ingin membayar jasab seorang musyrikin, lalu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam enggan menjualnya kepada mereka. (HR Al Tirmidzi dan selainnya) (13). Ibnu Ishaaq dalam kitab Al Maghazi menyebutkan:

” أَنَّ الْمُشْرِكِينَ سَأَلُوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَهُمْ جَسَدَ نَوْفَلَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُغِيْرَةِ , وَكَانَ اقْتَحَمَ الْخَنْدَقَ ; فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ حَاجَةَ لَنَا بِثَمَنِهِ وَلاَ جَسَدِهِ “

Sungguh kaum musyrikin meminta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam untuk menjual kepada mereka jasad Naufal bin Abdillah bin Al Mughiroh dan ia dulu ikut menyerang Khondak. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: Tidak butuh dengan nilai harganya dan tidak juga jasadnya.

Ibnu Hisyam menyatakan:

“Telah sampai kepada kami dari Al Zuhri bahwa mereka telah mengeluarkan untuk itu sepuluh ribu. ”

Imam Bukhari mengambil sisi pendalilan atas hadits bab dari sisi adat menguatkan bahwa keluarga orang kafir yang terbunuh diperang badar seandainya mengetahui akan diterima uang tebusan mereka untuk mendapatkan jasad-jasad mereka (yang terbunuh) tentulah akan mengeluarkan sebanyak mungkin untuk itu. Hal ini adalah penguat atas hadits Ibnu Abas walaupun sanadnya tidak kuat. (14)

Hikmah Pengharaman Bangkai (15)

Sebagian ulama menyampaikan beberapa hikmah pengharaman bangkai, diantaranya:

a. Bangkai pada umumnya berbahaya karena mati Karena sakit atau lemah atau karena mikroba, bakteri dan virus serta yang sejenisnya yang mengeluarkan racun. Terkadang mikroba penyakit tersebut bertahan hidup dalam bangkai tersebut cukup lama.

b. Tabiat manusia menolaknya dan menganggapnya jijik dan kotor.
c. Adanya darah jelek yang tertahan tidak keluar yang tidak hilang kecuali dengan sembelihan syar’i.

Dengan demikian, mudah-mudahan membuat kita semakin berhati-hati dalam memilih makanan yang dimakan.

Wabillahi Al-Taufiq.

Referensi:

  1. Al Qamus Al Muhieth, Al Fairuzzabadi, tahqiq Muhammad Na’im Al ‘Urqususi, cetakan kelima tahun 1416H, Muassasah Al Risalah, Bairut.
  2. Al Ath’imah Wa Ahkaam Al Shoid Wal Dzabaa’ih, DR. Sholeh bin Abdillah Al Fauzan, cetakan kedua tahun 1419H, Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.
  3. Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdulqayyum bin Muhammad Al Syahibani dalam pelajaran Hadits di Fakultas hadits, Universitas Islam Madinah.
  4. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Syeikh Ibnu Utsaimin, tahqiq DR. Kholid Al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khoil, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasatu Aasaam.
  5. Shahih Fiqhus Sunnah, Abu Malik Kamal bin Al Sayyid Saalim, tanpa tahun, Al maktabah Al Taufiqiyah, Kairo, Mesir 1/73.
  6. Nailul Authar Bi Syarhi Al Muntaqa Lil Akhbaar, Muhamad bin Ali Al Syaukani, Tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Baerut
  7. Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiqi Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1413H, Dar Hajar.
  8. Fathul Baari Syarah Shahih Al Bokhari, Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Maktabah Al Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.

Footnotes:

(1) Lihat, Al Qamus Al Muhieth, Al Fairuzzabadi, tahqiq Muhammad Na’im AL ‘Urqususi, cetakan kelima tahun 1416H, Muassasah Al Risalah, Bairut. hal 206.
(2) Al Ath’imah Wa Ahkaam Al Shoid Wal Dzabaa’ih, DR. Sholeh bin Abdillah Al Fauzan, cetakan kedua tahun 1419H, Maktabah Al Ma’arif, Riyadh, hal. 195
(3) Diambil dari catatan penulis dari keterangan Syeikhuna Abdulqayyum bin Muhammad Al Syahibani dalam pelajaran Hadits di Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah tanggal 13 Jumadal Ula 1418H.
(4) Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Syeikh Ibnu Utsaimin, tahqiq DR. Kholid Al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khoil, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasatu Aasaam, 1/78
(5) Diambil dari catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdul Qayyum.
(6) Shahih Fiqhus Sunnah, Abu Malik Kamal bin Al Sayyid Saalim, tanpa tahun, Al maktabah Al Taufiqiyah, Kairo, Mesir 1/73.
(7) Syarhul Mumti’ 1/78
(8) Lihat Shahih fiqhus Sunnah 1/73.
(9) Lihat Nailul Authar Bi Syarhi Al Muntaqa Lil Akhbaar, Muhamad bin Ali Al Syaukani, Tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Baerut 1/67
(10) Ibid
(11) Syarhul Mumti’ 1/69
(12) Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiqi Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1413H, Dar Hajar. 13/330
(13) Didhaifkan Syeikh Al Albani dalam Dha’if sunan At Tirmidzi
(14) Fathul Baari Syarah Shahih Al Bokhari, Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Maktabah Al Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun, 6/283
(15) Diambil dari kitab Al Ath’imah karya Syeikh Sholih Al Fauzan hal. 196

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Tinggalkan komentar