Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (1)

Seorang pencari ilmu harus memiliki beberapa adab sebagai berikut :

Pertama : Niyat yang ikhlas karena Allah.

Dengan cara memaksudkan mencari ilmunya untuk mendapatkan Wajah Allah dan negeri akhirat, karena Allah mndorong dan menekankan hal itu kepada manusia. Allah berfirman :” Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad : 19). Dan pujian kepada para ulama amat dikenal dan apabila Allah memuji kepada sesuatu atau memerintahkan sesuatu maja sesuatu itu menjadi ibadah.

Dengan demikian maka wajiblah ikhlas karena Allah dalam hal ini dengan cara meniyatkan mencari ilmunya untuk memperoleh Wajah Allah. Dan apabila seseorang meniyatkan mencari ilmu syar’i untuk memperoleh ijazah agar dengan ijazah itu dia mendapatkan kedudukan atau penghasilan maka tentang hal ini Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah bersabda :” Barang siapa yang mencari ilmu yang diridhai oleh Allah Azza Wajalla, dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mencari keuntungan dunia maka dia tidak akan mencium baunya surga.”[1] Ini adalah ancaman yang keras.

Akan tetapi kalau seorang penuntut ilmu mengatakan bahwa saya ingin memperoleh ijazah bukan karena untuk kepentingan dunia akan tetapi karena sistem yang berlaku menjadikan orang alim diukur dengan ijazahnya. Maka kita katakan bahwa apabila niyta seseorang memperoleh ijazah dalam rangka agar bisa memberi manfaat kepada orang lain dengan cara mengajar, atau administrasi atau semisalnya maka ini adalah niyat yang selamat yang tidak madharat sedikitpun karena ini adalah niyat yang benar.

Kita sebutkan ikhlas di awal penjelasan tantang adab mencari ilmu karena ikhlas merupakan dasar, maka seorang pencari ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya unruk melaksanakan perintah Allah karena Allah memerintahkan untuk berilmu. Allah berfirman :” Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah.” Dalam ayat ini Allah memerintahkan berilmu, maka apabila engkau belajar ilmu berarti engkau melaksanakan perintah Allah Azza Wajalla.

Kedua : Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.

Seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain karena pada asalnya manusia itu bodoh. Dalil tentang hal itu adalah firman Allah :” Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan kalian tidak tahu apa-apa dan Allah menjadikan pendengaran, pengalihatan dan hati bagi kalian agar kalian bersyukur.” (QS. An Nahl : 78). Kenyataan memperkuat akan hal itu, oleh karena itu engkau harus meniyatkan mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu agar engaku bisa mencapai rasa takut kepada Allah.. “ Hanyalah orang-orang yang takut kepada Allah dikalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”(QS. Fathir : 28). Engkau meniyatkan menghilangkan kebodohan dari dirimu karena pada asalnya engkau adalah bodoh, maka apabila engkau belajar dan engkau menjadi ulama maka hilanglah kebodohan dari dirimu, demikian pula engkau harus meniyatkan menghilangkan kebodohan dari ummat dengan cara mengajari mereka dengan bebagai cara agar manusia bisa mengambil manfaat dari ilmumu.

Apakah syarat memanfaatkan ilmu itu harus duduik di masjid dalam suatu halaqah ? Atau mungkin manusia bisa mengambikl manfaat dari ilmumu dalam setiap keadaan ? Jawabnya adalah yang kedua, karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Sampaikanlah apa-apa yang kalian terima dariku walaupun satu ayat.”[2] Karena apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang, lalu orang itu mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang lain maka engkau akan memperoleh pahala dua orang, kalau dia mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang yang ketiga maka engkau akan memperoleh pahala tiga orang, dan begitulah seterusnya. Dari sini maka termasuk kebid’ahan apabila seseorang berkata ketika melakukan suatu ibadah :” Ya Allah jadikanlah pahala dari amal ini untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam lah yang mengajarkan hal ini kepadamu, beliaulah yang menunjukkanmu kepada amalan itu maka beliaupun akan mendapat pahala dari amalanmu.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata :” Ilmu itu tidak ada bandingannya bagi orang yang benar niyatnya.” Beliau ditanya :” Bagaimana mewujudkan hal itu ?” Beliau menjawab :” Dia harus meniyatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.” Karena asalnya mereka adalah bodoh sebagaimana dirimupun pada asalnya bodoh, maka apabila engkau belajar untuk menghilangkan kebodohan dari ummat ini maka engkau akan termasuk diantara para mujahidin di jalan Allah yang menyebarkan agama Allah.

Ketiga : Membela syariat.

Yaitu meniyatkan mencari ilmu untuk membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela syariat. Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali pembawa syariat. Kalau seseorang dari kalangan ahli bid’ah datang ke sebuah perpustakaan yang dipenuhi oleh kitab-kitab syariat sengan jumlah yang tak terhitung, lalu dia merbicara dengan kebid’ahannya dan memperkuat omongannya maka saya yakin bahwa tak ada satu kitabpun yang akan membantah omongannya. Akan tetapi apabila dia berbicara tentang kebid’ahannya di hadapan seorang ahli ilmu untuk menguatkan kebid’ahannya maka penuntut ilmu itu akan membantah orang itu dan mematahkan omongannya dengan Quran dan sunnah.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk membela syariat karena membela syariat tidak bisa dilakukan kecuali oleh manusia persisi seperti senjata. Kalau kita punya senjata yang penuh dengan peluru, apakah senjata ini mampu beroperasi sendiri untuk memuntahkan pelurunya ke arah musuh ? Ataukah tidak bis apa-apa kecuali dioperasikan oleh manusia ? Jawabnya adalah : Tidak bisa jalan sendiri kecuali dijalankan oleh manusia. Demikian pula dengan ilmu.

Selain itu bid’ah selalu tampil dalam bentuk baru. Kadang ada kebid’ahan tertentu yang muncul pada zaman awal dan tidak ada di dalam kitab-kitab, maka tidak mungkin ada yang bisa membantahnya kecuali penuntut ilmu, oleh karena itu saya katakan :

Sesungguhnya diantara hal yang wajib dipelihara oleh penuntut ilmu adalah membela syariat, dengan demikian maka manusia amat sangat membutuhkan para ulama untuk membantah tipu daya para ahli bid’ah dan semua musuh Allah Azza Wajalla. Dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu syar’i yang diambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Keempat : Berlapang dada dalam masalah yang diperselisihkan.

Penuntut ilmu dadanya harus lapang dalam permasalahan yang diperselisihkan yang bersumber dari hasil ijtihad karena masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama bisa terjadi dalam masalah-masalah yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya dan masalahnya sudah amat jelas,maka dalam masalah ini tak seorangpun boleh berselisih, atau bisa juga dalam masalah dibolehkan di dalamnya ijtihad maka dalam masalah ini orang boleh berselisih pendapat. Dan argumentasimu dalam masalah ini tidak bisa membatalkan argumen orang yang berbeda pendapat denganmu karena kalau kita terima hal ini maka bisa juga terjadi sebaliknya yaitu argumen dia bisa membatalkan argumenmu.

Maksud saya dengan penjelasan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan itu adalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya dan memungkinkan manusia berselisih dalam masalah itu. Adapun orang yang menyelisihi metoda salaf seperti masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini tak bisa diterima seseorang yang menyelisihi aqidah yang di yakini oleh salafus shalih, akan tetapi dalam masalah-masalah lain yang diperbolehkan bagi pikiran kita untuk terlibat maka tidak boleh perbedaan pendapat dalam masalah ini dijadikan sebagai alasan untuk mencela fihak lain atau dijadikan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian.

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sering berbeda pendapat dalam banyak masalah, barang siapa yang ingin meneliti perselisihan pendapat diantara mereka maka hendaklah dia merujuk kepada atsar-atsar yang ada tentang mereka maka dia akan menemukan ikhtilaf dalam banyak masalah dan lebih besar dari masalah yang pada zaman sekarang ini dijadikan oleh orang sekarang sebagai adat (kebiasaan untuk berselisih sehingga orang-orang menjadikan hal itu sebagai penyebab timbulnya kelompok-kelompok dengan mengatakan : Saya beserta si Fulan dan saya bersama si Fulan ! Seolah-olah masalah ini adalah masalah kelompok. Ini adalah salah.

Contoh tentang hal itu seperti seseorang yang berkata : Apabila engkau bangkit dari ruku maka janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kiri tapi ulurkanlah ke samping dua pahamu, kalau tidak begitu maka engkau adalah mubtadi’ (ahli bid’ah).

Kata mubtadi’ (ahli bid’ah) bukanlah kata yang ringan bagi jiwa. Bila dia mengatakan hal itu kepada saya maka dada saya akan merasakan satu ketidak sukaan karena orang itu adalah manusia biasa. Kita katakan bahwa di dalam masalah ini ada kelapangan baik mau sedekap atau mau mengulurkan. Oleh karena itu Imam Ahmad menyatakan bahwa orang boleh memilih antara sedekap dengan mengulurkan ke bawah karena dalam urusan ini ada kelapangan. Akan tetapi bagaimanakah sunnahnya dalam urusan ini ?

Jawabnya adalah :

Sunnahnya adalah engkau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri apabila engkau bangkit dari ruku sebagaimana engkau lakukan hal itu ketika engkau berdiri sebelum ruku. Dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dari Sahl Bin Sa’d, dia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta kiri di dalam shalat.”[3] Perhatikanlah apakah ini maksudnya perintah ketika bersujud atau dalam keadaan ruku, atau maksudnya dalam keadaan duduk ? Tidak ! Tapi maksudnya dalam keadaan berdiri yang mencakup berdiri sebelum ruku dan berdiri setelah ruku. Jadi kita tidak boleh menjadikan perbedaan dalam hal ini sebagai sebab untuk perselisihan dan persengketaan, karena semua kita menginginkan kebenaran dan setiap kita melakukakan hasil ijtihadnya, maka selama demikian maka hal ini tidak boleh kita jadikan penyebab permusuhan dan perpecahan antara ahli ilmu karena para ulama pun selalu ikhtilaf sekalipun di zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Dengan demikian setia penuntut ilmu wajib bersatu padu dan tidak boleh menjadikan ikhtilaf seperti ini sebagai sebab untuk bermusuhan dan saling membenci, bahkan bila engkau ikhtilaf dengan sahabatmu didasarkan pada dalil yang engkau miliki dan sahabatmu berbeda denganmu juga berdasarkan kandungan dalil yang dia miliki maka wajib kamu jadikan diri mu dan dia di atas satu jalan (yaitu dalil) dan mestinya menambah rasa cinta diantara kalian berdua.

Oleh karena itu kita menyukai dan menyambut baik para pemuda kita yang mempunyai visi yang kuat untuk menyandingkan semua masalah dengan dalil dan membangun ilmu mereka di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, kita melihat bahwa ini termasuk kebaikan dan dia akan gembira dengan akan dibukakannya pintu-pintu ilmu dari caranya yang benar. Kita tidak menginginkan dari mereka sikapnya ini menjadi sebab munculnya sikap tahazzub (berkelompok) dan saling kebencian. Allah berfirman kepada nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi golongan-golongan, tak ada tanggung jawabmu sedikitpun dari mereka.” (QS Al An’am 159). Maka orang-orang yang menjadikan diri-diri mereka sebagai golongan-golonga tidak kita setujui karena golongan Allah itu satu. Kita lihat bahwa perbedaan faham tidak harus menyebabkan manusia saling membenci dan saling mencela kehormatan saudaranya.

Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi saudara sehingga sekalipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah furu’. Setiap orang harus memanggil fihak lain dengan lembut dan berdialog yang ditujukan untuk menggapai wajah Allah dan mencapai ilmu, dengan cara ini akan terjalinlah sikap kelembutan dan hilanglah sikap kasar dan keras yang dimiliki oleh beberapa gelintir manusia sehingga kadang-kadang sikap itu menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Hal ini tidak diragukan lagi akan menggembirakan musuh-musuh Islam, dan perselisihan di kalangan ummat merupakan bahaya terbesar yang terjadi. Allah berfirman :” Dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih maka kalian akan lemah dan akan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar.” ( Al Anfal : 46).

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum pun suka ikhtilaf dalam masalah seperti ini akan tetapi mereka berada di atas satu hati, di atas kecintaan dan persatuan,bahkan saya akan katakan dengan jelas bahwa jika seseorang berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia miliki maka sebenarnya dia bersepakat denganmu, karena masing-masing kalian adalah pencari kebenaran oleh karena itu tujuan kalian adalah sama yaitu menuju kebenaran dengan dalil, dengan demikian dia tidak berselisih denganmu selama engkau mengakui bahwa dia berbeda denganmu hanya karena berdasarkan dalil yang dia miliki, lalu di manakah letak perselisihannya ? Dengan cara seperti ini maka tetaplah ummat di atas persatuan sekalipun mereka kadang berbeda di dalam beberapa masalah untuk melaksanakan dalil yang dimiliki. Adapun orang yang menentang dan takabbur setelah nampak kebenaran maka tidak diragukan lagi bahwa dia wajib diperlakukan dengan perlakuan yang layak (bagi orang seperti itu) setelah dia menentang dan menyelisihi. Setiap kondisi ada penjelasannya yang sesuai. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh (Ustad Abu Haidar) 

Footnote:
—————————————-
[1] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 2 hal 338. Abu Dawud, kitab ilmu, bab mencari ilmu selain karena Allah. Ibnu Majah, muqoddimah, bab memanfaatkan ilmu dan mengamalkannya. Hakim dalam Al Mustadrak, juz 1 hala 160. Ibnu Abi Syaibah dalam AL Mushonnaf, juz 8 hal 543. Al Ajury dalam Akhlaq ulama hal 142 dan di dalam Akhlaq ahli Quran hal 128 nomor 57. Berkata Al Hakim : Hadis ini sahih, sanadnya terpercaya.

[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab para nabi, bab kisah Bani Israil

[3] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab sifat shalat,bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dan lafazh dari Sahl Bin Sa’d mengatakan : Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta yang kiri di dalam shalat.

Definisi Ilmu

Secara bahasa adalah lawan dari Al Jahl (kebodohan): yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan pengetahuan yang pasti.

Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifat (pengetahuan) sebagai lawan dari al jahl (ketidaktahuan). Menurut ulama yang lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.

Adapun ilmu yang  kita maksud adalah ilmu syar’i, artinya adalah ilmu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Maka ilmu yang  di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu wahyu yaitu ilmu yang diturunkan Allah saja. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah  maka Allah akan menajdikan dia faham tentang agamanya.”[1] Dalam hadis lainnya beliau bersabda :” Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, hanyalah yang mereka wariskan adalah ilmu , maka baranga siapa yang telah mengambil ilmu maka dia telah mengambil kebaikan yang banyak.”[2]

Satu hal yang sudah kita ma’lumi bahwa yang diwariskan oleh para nabi hanyalah ilmu tentang syariat Allah Azza Wajalla dan bukan yang lainnya. Maka para nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi kepada manusia atau yang berkaitan dengannya, bahkan ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam datang ke Madinah, beliau mendapatkan bahwa manusia disana mengawinkan pohon kurma, berkatalah beliau kepada mereka bahwa  hal itu tidak perlu, lalu merekapun menurut dan tidak mengawinkannya akan tetapi pohon kurma itu rusak, maka berkatalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam kepada mereka : Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”[3] Seandainya hal ini termasuk ilmu yang terpuji maka pasti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam adalah orang yang paling mengetahui tentang hal ini, karena orang yang paling terpuji karena ilmu dan amalnya adalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Dengan demikian maka ilmu syar’i adalah ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan bagi para pemiliknya, akan tetapi sekalipun demikian saya tidak mengingkari bahwa ilmu yang lainnyapun mengandung faidah, akan tetapi  faidah itu memiliki dua batasan. Bila dia bisa membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan membela agama-Nya dan bermanfaat bagi manusia maka ilmu itu merupakan ilmu yang baik dan maslahat. Terkadang mempelajarinya menjadi wajib dalam kondisi tertentu apabila hal itu termasuk dalam firman Allah :” Dan hendaklah kalian mempersiapkan kekuatan dalam menghadapi mereka semampu kalian berupa pasukan berkuda….. “ (Al Anfal : 60).

Banyak ulama yang menerangkan bahwa mempelajari teknologi merupakan fardhu kifayah, hal itu disebabkan karena manusia pasti mempunyai peralatan memasak, minum dan yang lainnya yang bermanfaat bagi mereka. Maka apabila tidak ada orang yang menggarap industri di bidamg ini maka mempelajarinya jadi fardhu kifayah. Ini adalah materi yang diperdebatkan oleh para ulama. Sekalipun demikian maka saya ingin katakan bahwa ilmu yang di dalamnya terkandung  pujian dan sanjungan adalah ilmu syar’i yang merupakan pemahaman tentang kitab Allah dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, adapun ilmu selain itu  bisa menjadi alat kebaikan atau alat kejelekan,maka hukumnya sesuai dengan pemanfaatannya.

Disalin dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin
Penerjemah Ustad Abu Haidar

Footnote
———————————————-
[1] Al Bukhari, kitab ilmu, bab : siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah. Muslim, kitab zakat,bab larangan meminta.
[2] Abu Dawud, kitab ilmu, bab dorongan mencari ilmu. At Tirmidzi, kitab ilmu, bab penjelasan tentang keutamaan ilmu dari ibadah
[2] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab Al Fadhail, bab wajibnya melaksanakan apa yang beliau katakan berupa syariat tanpa diteranghkan oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentyang kehidupan dunia berdasarkan ro’yu.

Hukum mencari ilmu

Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah yang apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah bagi yang lainnya. Tapi terkadang mencari ilmu ini menjadi fardhu a’in bagi manusia. Batasannya adalah apabila seseorang akan melakukan ibadah yang akan dia laksanakan atau muamalah yang akan dia kerjakan maka dia wajib dalam keadaan ini mengetahui bagaimana cara melakukan beribadah ini dan bagaimana dia melaksanakan muamalah ini. Adapun ilmu yang lainnya (yang tidak akan dilakukan saat itu) maka tetaplah hukumnya fardhu kifayah. Setiap pencari ilmu harus menyadari bahwa dirinya sedanga melaksanakan amalan yang fardhu kifayah ketika mencari ilmu agar dia memperoleh pahala mengerjakan yang fardhu sembari memperoleh ilmu.

Tidaklah diragukan lagi bahwa mencari ilmu termasuk amalan yang paling utama bahkan dia adalah jihad di jalan Allah terutama pada zaman kita sekarang ketika kebid’ahan mulai nampak di tengah masyarakat Islam dan menyebar secara luas, dan ketika kebodohan mulai mereta dari kalangan orang yang mencari fatwa tanpa ilmu, dan ketika perdebatan mulai menyebar di kalangan manusia, maka tiga hal ini semuanya mengharuskan para pemuda agar bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.

Pertama : Kebid’ahan yang mulai tampak dan cahayanya mulai bersinar.

Kedua : Manusia banyak yang mencari fatwa tanpa ilmu.

Ketiga : Banyaknya perdebatan dalam masalah-masalah yang kadang-kadang sudah jelas menurut para ulama tapi datang orang yang mendebat dalam hal itu tanpa ilmu.

Oleh karena itu maka kita amat butuh kepada ahli ilmu yang memiliki ilmu yang mendalam dan penelaahan yang mendalam, yang juga memiliki pemahaman tentang agama Allah, yang memiliki sikap hikmah dalam membimbing para hamba Allah karena kebanyakan manusia sekarang hanya memperoleh ilmu secara teoritis dalam salah satu masalah akan tetapi tidak menaruh perhatian terhadap upaya mengislahkan manusia dan pendidikan mereka, dan apabila mereka berfatwa dengan ini dan itu maka hal itu menjadi penyebab timbulnya kejelekan yang lebih besar yang masa berlangsungnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.

Disalin dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin

Penerjemah Ustad Abu Haidar

Keutamaan Ilmu

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji ilmu dan para ahlinya dan mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian juga sunna Nabi yang suci.

Ilmu adalah amal soleh yang paling utama dan ibadah yang paling mulia dan paling utama diantara ibadah-ibadah sunnah, karena ilmu termasuk jenis jihad di jalan Allah karena agama Allah Azza Wajalla hanya akan tegak karena dua hal :

Pertama : Karena ilmu dan penjelasan.

Kedua : Karena perang dan senjata.

Kedua hal itu merupakan keharusan. Tidak mungkin agama ini tegak dan menang tanpa keduanya. Hal yang pertama harus lebih dipentingkan dari hal yang kedua, oleh karena itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tidaklah menyerang suatu kaum sebelum sampai da’wah kepada mereka. Jadi ilmu lebih didahulukan dari pada perang.

Allah berfirman :” Ataukah orang yang beribadah sepanjang malam sambil bersujud dan berdiri karena takut akhirat dan mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Az Zumar : 9). Kata tanya disini mesti ada lawan katanya, sehingga artinya :” Apakah orang yang beibadah sepanjang malam dan siang sama dengan orang yang tidak demikian ?” Golongan kedua yang kurang keutamaannya adalah yang tidak berilmu, maka apakah sama orang yang beribadah sepanjang malam sambil bersujud dan berdiri karena takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Allah dengan orang yang takabur dari taat kepada Allah ?

Jawabnya adalah : Tidak sama ! Lalu orang yang beribadah dengan mengharap pahala dari Allah dan takut akhirat apakah perbuatan ibadahnya ini berdasarkan ilmu atau kebodohan ? Jawabnya adalah : Berdasarkan ilmu ! Oleh karena itu Allah berfirman :” Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu ? Hanyalah orang yang berakal yang bisa mengambil pelajaran.”

 Tidak sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu sebagaimana tidak sama pula orang yang hidup dengan orang yang mati, yang mendengar dengan yang tuli, dan orang yang melihat dengan orang yang buta. Ilmu adalah cahaya yang bisa dijadikan petunjuk oleh manusia sehingga mereka bisa keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Ilmu menjadi penyebab diangkatnya derajat orang-orang yang dikehendaki oleh Allah dari kalangan hamba-Nya.:” Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadalah : 11). Oleh karena itu kita dapatkan bahwa ahli ilmu merupakan tumpuan pujian, setiap kali nama mereka disebut, manusia selalu memujinya. Ini adalah diangkatnya derajat mereka di dunia. Adapun di akhirat mereka diangkat derajatnya sesuai dengan da’wah dan amal dari ilmu yang mereka miliki.

Seorang hamba sejati adalah orang yang beribadah kepada Allah atas dasar ilmu dan telah jelasnya kebenaran baginya. Inilah jalan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Katakanlah ! :Inilah jalanku yang lurus, aku mengajak manusia kepada Allah atas dasar ilmu yang aku lakukan beserta pengikutku. Maha Suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang musyrik.” (Yusuf : 108). Seorang manusia yang bersuci dan dia tahu bahwa dia berada dia atas cara bersuci yang sesuai dengan syariat, apakah orang ini sama dengan orang yang bersuci hanya karena dia melihat cara bersuci bapaknya atau ibunya ? Manakah yang lebih sempurna dalam melakukan ibadah diantara keduanya ? Seseorang yang bersuci karena dia mengetahui bahwa Allah memerintah untuk bersuci dan apa yang dias lakukan merupakan cara bersuci Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam lalu dia bersuci karena melaksanakan perintah Allah dan mngikuti sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam , ataukah seseorang yang bersuci atas dasar kebiasaan ?

Jawabnya adalah : Tidak diragukan lagi bahwa orang yang pertamalah yang beribadah kepada Allah atas dasar ilmu.

Samakah kedua orang tadi ? Sekalipun keduanya melakukan hal yang sama akan tetapi yang pertama mekukannya berdasarkan ilmu dengan berharap kepada Allah Azza Wajalla dan takut kepada akhirat serta menyadari bahwa dia sedang mengikuti Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Saya akan berhenti dulu pada point ini dan bertanya : Apakah kita menyadari ketika berwudhu bahwa kita sedang melaksanakan perintah Alla Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :” Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai sikut dan usaplah kepala-kepala klian dan basuhlah kaki-kaki kalian sampai dua mata kaki.” ((QS. Al Maidah : 6).

Apakah ketika berwudhu seseorang menyadari ayat ini dan dia berwudhu karena melaksanakan perintah Allah ?

Apakah diapun menyadari bahwa ini adalah cara wudhu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan dia berwudhu karena mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ?

Jawabnya : Ya ! Kenyataannya ada diantara kita yang menyadari hal itu, oleh karena itu ketika mengerjakan ibadah kita wajib meniyatkan untuk melaksanakan perintah Allah sehingga dengan hal itu tercapailah ikhlas. Kitapun mesti meniyatkan mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam melakukan ibadah itu. Kita mengetahui bahwa diantara syarat wudhu adalah niyah, akan tetapi nyat ini kadang-kadang dimaksudkan miniyatkan beramal, dan inilah yang dibahas dalam bidang fiqih. Kadang-kadang juga dimaksudkan miniyatkan apa yang diamalkan dan ketika itu kita harus memperhatikan perkara yang agung ini yaitu kita menyadari bahwa kita beribadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah agar tercapai keikhl;asan dan menyadari bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam melakukan hal ini dan kitapun mengikutinya dalam hal ini agar tercapailah sikap mutaba’ah (mengikuti) karena diantara syarat sahnya amalan adalah ikhlas dan mutaba’ah sehingga dengan kedua hal ini ter aplikasikanlah syahadat bahwa tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah.

Kita kembali kepada penjelasan yang lalu tentang keutamaan ilmu. Karena dengan ilmu seseorang beribadah kepada Allh berdasarkan bashirah, maka hatinya akan selalu terpaut dengan ibadah dan hatinyapun akan terterangi dengan ibadah itu sehingga dia melakukannya berdasarkan hal itu dan menganggap bahwa hal itu sebagai ibadah dan bukan hanya sebagai adat (kebiasaan). Oleh karena itu apabila seseorang shalat berdasarkan sikap ini maka dia termasuk orang yang dijamin oleh apa yang diterangkan Allah bahwa shalat itu akan mencegah dia dari perbuatan keji dan munkar.

 

Diantara keutamaan ilmu yang terpenting adalah sebagai berikut :

 

Pertama : Ilmu adalah warisan para nabi.

 

Para nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun dinar, yang mereka wariskan hanya ilmu, maka barang siapa yang telah mengambililmu maka berarti dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi. Engkau sekarang berada pada abad ke lima belas hijriyah, apabila engkau seorang ahli il berarti engkau menerima waris dari Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, dan ini termasuk keutamaan yang paling besar.

 

Kedua : Ilmu ituabadi sedangkan harat adalah fana (akan rusak).

 

Contohnya adalah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dia termasuk sahabat yang faqir sehingga dia sering terjatuh mirip pingsan karena menahan lapar. Dan –Demi Allah- saya bertanya kepada kalian apakah nama Abu Hurairah selalu disebut di kalangan manusia pada zaman kita sekarang atau tidak ? Ya, namanya banyak disebut sehingga Abu Hurairah mendapatkan pahala dari pemanfaatan hadis-hadisnya, karena ilmu akan abadai sedangkan harta akan rusak . Maka Engkau hai para penuntut ilmu wajib memegang teguh ilmu. Di dalam suatu hadis Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam menyatakan :” Apabila anak Adam mati maka putuslah segala amalnya kecuali tiga. Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakan otang tuanya.”1

 

Ketiga : Pemilik ilmu tidak merasa lelah dalam penjaga ilmu.

 

Apabila Allah memberi rizki kepadamu berupa ilmu, maka tempat ilmu itu adalah di dalam hati yang tidak membutuhkan peti, kunci, atau yang lainnya. Dia akan terpelihara di dalah hati dan terjaga di dalam jiwa dan dalam waktu yang bersamaan diapun menjagamu karena dia akan memeliharamu dari bahaya atas izin Allah. Maka ilmu itu akan menjagamu sedangkan harta engkaulah yang harus menjaganya yang harus engkau simpan di peti-peti yang terkunci, sekalipun demikian hatimu tetap tidak tenang.

 

Keempat : Dengan ilmu manusia bisa menjadi para saksi atas kebenaran.

 

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :”
Allah bersaksi bahwa tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Dia, demikian juga para malaikat dan orang-orang ynag berilmu yang tegak di atas keadilan.” (QS. Ali Imran : 18). Apakah dalam ayat ini Allah juga mengatakan :” Dan juga pemilik harta ?” Tidak ! Tapi Dia mengatakan :” Dan orang-orang yang berilmu yang tegak di atas keadilan” Maka cukuplah menjadi kebanggan bagimu wahai penuntut ilmu, engkau menjadi orang yang bersaksi bagi Allah bahwa tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Dia beserta para malaikat yang menyaksikan keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Kelima : Ahli ilmu termasuk salah seorang dari dua golongan ulil amri. yang wajib ditaati berdasarkan perintah Allah.

 

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian.”(QS. An Nisa : 59). Ulil amri disini mencakup ulil amri dari kalangan para penguasa dan para hakim, ulama dan para penuntut ilmu. Maka wewenang ahli ilmu adalan menjelaskan syariat Allah dan mengajak manusia untuk melaksanakannya sedangkan wewenang penguasa adalah menerapkan syariat Allah dan mewajibkan manusia untuk melaksanakannya.

 

Keenam : Ahli ilmu adalah orang yang melaksanakan perintah Allah Ta’ala sampai hari kiamat.

Yang menjadi dalil tentang hal itu adalah hadis Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata : Saya mendengar Rosul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda : “ Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan membuat orang itu faham tentang agamanya. Saya hanyalah Qosim dan Allah Maha Pemberi. Dan di kalangan ummat ini akan selalu ada sekelompok orang yang selalu tegak di atas perintah Allah, mereka tidak akan dimadharatkan oleh orang-orang yang munyelisihi mereka sehingga datang urusan Allah.” (HR. Bukhari).2

 

 Imam Ahmad telah berkata tentang kelompok ini :” Bila mereka bukan ahli hadis maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.”

 Al Qadhi Iyyadh Rahimahullah berkata :” Maksud Imam Ahmad adalah ahli sunnah dan orang yang meyakini madzhab ahli hadis.”

 

Ketujuh :

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tidak pernah memotivasi seseorang agar iri kepada orang lain tentang suatu nikmat yang Allah beriikan kecuali dua macam nikmat :

 

1). Mencari ilmu dan mengamalkannya.

2). Pedagang yang menjadikan hartanya sebagai alat untuk memperjuangkan Islam.

 

Sebuah hadis dari Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu dia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal : seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia habiskan hartanya itu untuk membela kebenaran. Dan seseorang yang dibeli ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.” 3

 

Kedelapan :

Diterangkan dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abu Musa Al Asy’ary Radhiyallahu ‘Anhu dari nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam , beliau bersabda :” Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah telah mengutus aku dengan membawa keduanya adalah seperti hujan yang menimpa bumi,maka diantara bumi itu ada tanah yang baik (gembur) yang menyerap air dan menumbuhkan tumbuhan dan rumput yang banyak. Ada pula tanah yang keras yang bisa menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia dari tanah itu,mereka minum dan bercocok tanam. Hujan pun menimpa tanah yang lain yaitu Qii’aan yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan bisa memberi manfaat dari apa yang Allah telah mengutusku dengan membawa ajaran ini , lalu dia mengetahui dan mengajarkannya, dan perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepalanya untuk hal itu dan orang yang tidak mau menerima petunjuk dari Allah yang aku diutus dengan membawa petunjuk itu.”4

 

Kesembilan : Ilmu adalah jalan menuju surga sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Dan barang siapa yang menelusuri jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga..”5

 

Kesepuluh :

Diterangkan dalam sebuah hadis Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata : Telah berkata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam :” Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuat orang itu faham tentang agamanya.” Artinya Allah akan menjadikan orang itu faqih tentang agama Allah Azza Wajalla. Dan faqih tentang agama Allah bukanlah maksdunya memahami hukum-hukum amaliyah tertentu menurut ahli ilmu berdasarkan ilmu fiqih saja akan tetapi maksudnya adalah : ilmu tauhid dan ushuluddin dan apa-apa yang berkaitan dengan syariat Allah Azza Wajalla. Seandainya tidak ada keterangan dari kitab dan sunnah kecuali hadis ini saja tentang keutamaan ilmu, maka inipun sudah sempurna dalan memberikan dorongan untuk mencari ilmu syariat dan pemahaman terhadapnya.

 

Kesebelas : Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup seorang hamba, maka diapun akan mengetahui bagaimana beribadah kepada Rabbnya dan bagaimana cara bergaul dengan sesama hamba-Nya, maka jalan hidupnya akan selalu berada di atas ilmu dan bashirah.

 

Kedua belas : Orang yang berilmu adalah cahaya yang menerangi manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Tidaklah samar dalam ingatan kebanyakan manusia tentang orang ynag telah membunuh 99 orang dari kalangan Bani Israil lalu dia bertanya tentang orang yang oaling berilmu dimuka bumi lalu dia ditunjukkan kepada seorang abid (ahli ibadah) lalu dia bertanya apakah dia bisa tobat ? Sio abid menganggap dosanya terlalu besar sehingga dia menjawab : Tidak ! Lalu dibunuhnya si abid tadi sehingga genap 100 orang, lalu dia pergi ke seorang alim (orang yang berilmu) lalu dia bertanya kepadanya maka si alim menjawab bahwa dia bisa tobat dan tidak ada yang bisa menghalangi antara dia dengan tobatnya, lalu dia menunjuki oramng itu ke satu negeri yang penduduknya salih agar dia datang ke negeri itu, lalu diapun pergi, tapi di tengah jalan maut menjemput. Kisah ini amat masyhur.6

Perhatianlah perbedaan antara seorang alim dan seorang jahil.

 

Ketiga belas : Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat ahliilmu di akhirat dan di dunia. Adapun di akhirat maka Allah mengangkat derajat mereka sesuai dengan da’wah dan amal yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia Allah akan mengangkat mereka di kalangan hamba-Nya sesuai pula dengan amal mereka. Allah berfirman :” Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara dan yang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadalah : 11).

 

Disalin dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin

Penerjemah Abu Haidar (abuhaidar.web.id)

 

Footnote

_______________________________________

1 Dikeluarkan oleh Muslim, kitab washiyat, bab pahala apa yang akan mengikuti manusia setelah wafatnya.

2 Bukhari , kitab ilmu, bab orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah. Muslim, kitab zakat, bab larangan meminta.

3Dikeluarkan oleh Bukhari, kitab ilmu,bab iri tentang ilmu dan hikmah. Muslim, kitab shalat,bab keutamaan orang yang mengamalkan Quran dan mengajarkannya.

4 Dikeluarkan oeh Bukhari, kitab ilmu, bab keutamaan orang yang berilmu dan beramal. Muslim, kitan keutamaan, bab perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah diutus dengan membawa keduanya.

5 Dikeluarkan oleh Muslim, kitab dua. Bab keutamaan berkumpul untuk membaca Al Quran.

6 Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab para nabi, bab cerita tentang Bani Israil. Muslim, kitab tobat, bab diterimanya tobat seorang pembunuh.

SOLUSI MENGHADAPI PROBLEM RUMAH TANGGA SESUAI AJARAN ISLAM

SOLUSI MENGHADAPI PROBLEM RUMAH TANGGA SESUAI AJARAN ISLAM[1]

 Islam telah menetapkan syariat yang mengandung berbagai macam mutiara hikmah, pengarahan dan solusi bagi berbagai macam permasalahan dalam pernikahan, sehingga suami dan isteri bisa menikmati hidup bahagia bersama, dan masing-masing merasa tenang dan tenteram asal semua pihak mau merealisasikan ajaran Islam.

Di antara pengarahan Islam terhadap kehidupan rumah tangga adalah sebagai berikut:

1. Menghindarkan rumah tangga dari segala perkara yang menjadi sebab terjadinya thalak. Baik sebab yang datang dari pihak suami, isteri, keluarga atau pihak lain yang ingin membuat keruh suasana rumah tangga.

2. Sebelum menikah hendaknya berfikir masak-masak dan bermusyawarah dengan orang yang ahli atau memiliki pengalaman, harus memperlajari sebaik mungkin kondisi calon isteri atau suami dan jangan hanya tertarik dengan penampilan lahir atau ketampanan saja, sehingga menghasilkan pandangan yang kerdil dan tidak menyentuh kepada pokok masalah.

3. Bermusyawarah dengan orang lain setelah menikah dan terjadi pertengkaran serta percekcokan di antara suami dan isteri.

 4. Mempelajari ilmu yang bermanfaat, beramal salih, membaca, mendengarkan berita-berita bermanfaat, kaset-kaset murattal dan ceramah agama yang bisa menambah kwalitas dan mutu keimanan kepada Allah, dan tidak terbawa oleh budaya rusak dan akhlak tercela, hingga bisa bersabar dan tabah dalam menghadapi berbagai sikap semena-mena dan penelantaran hak-hak rumah tangga dari masing-masing pihak, karena semua itu akan diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih bagus.

5. Jika ada orang yang tidak mengenal etika agama dan akhlak sehingga hak-haknya terlantar, tidak bisa bersyukur terhadap nikmat dan pemberian, maka hendaknya bersikap arif dan bijak untuk kepentingan masa depan rumah tangga, jangan sampai muncul berbagai bentuk tindakan tidak terpuji yang bisa merusak keutuhan rumah tangga.

6. Mengambil pelajaran dari kasus dan peristiwa perceraian orang lain, mempelajari berbagai sebab dan faktor yang mengakibatkan percekcokan sampai terjadi perceraian, sebab orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari peristiwa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa diri sendiri.

7. Bersikap lapang dada untuk menerima kekurangan dan kelemahan masing-masing serta berusaha menumbuhkan rasa kasih sayang dan sikap pemaaf. Dan semua pihak yang dimintai maaf hendaklah segera memberikan maaf, agar hati kembali bercahaya dan bersih dari perasaan jengkel, kesal dan dengki.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ في الجَنَّةِ؟ قُلْنَا بَلى يَا رَسُوْلَ الله، قَالَ وَدُوْدٌ وَلُوْدٌ غضبت أَوْ أسي إِلَيْها أَوْ غَضَبَ زَوْجُها قَالَتْ هذه يَدِي في يَدِكَ لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حتى تَرْضَى

“Maukah aku khabarkan kepada kalian tentang isteri kalian yang berada di surga? Kami berkata,”Ya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Dia adalah wanita yang sangat mencintai lagi pandai punya anak, bila sedang marah atau sedang kecewa atau suaminya sedang marah maka ia berkata: Inilah tanganku aku letakkan di tanganmu dan aku tidak akan memejamkan mata sebelum engkau ridha kepadaku.” [HR At Thabrani].

8. Keyakinan seseorang bahwa dia selalu berada di pihak yang benar sehingga tidak berusaha mencari kekurangan dan kesalahannya, serta selalu marah melihat kekurangan yang lain dan tidak mau menerima nasehat dan pengarahan orang lain, selalu berusaha membela diri atau menyerang pihak lain, maka demikian itu membuka pintu percekcokan dan pertengkaran serta enggan berdamai.

9. Sebelum menikah hendaknya melihat kepada wanita yang dilamarnya karena demikian sebagai jembatan dan sarana menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dengan orang yang belum dikenal. Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa beliau meminang salah seorang wanita maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya.

 أَنَظَرْتَ إليها؟ قال: لا قال: أُنْظُرْ إليها فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ ييؤدم بَيْنَكُمَا

“Sudahkah kamu melihatnya? Ia berkata,”Tidak.” Beliau bersabda,”Lihatlah kepadanya, karena hal itu akan membuat kekal diantara kamu berdua.” [HR Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah serta dihasankan oleh Tirmidzi]

10. Bagi orang yang hendak menikah hendaknya hati-hati dalam mencari jodoh hingga menemukan calon yang benar-benar bagus yang sesuai dengan harapannya, sehingga mampu mewujudkan kehidupan damai, bahagia dan tenteram. Jika salah satu pihak timbul kebencian maka tidak cepat menjatuhkan vonis thalak karena di balik kekurangan insya Allah ada kelebihan, sebagaimana sabda Rasulullah.

لاَ يفرك مُؤمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْها خَلْقاً رَضِيَ مِنْها آخَرَ أَوْ قَالَ غَيْرَهُ

“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang mukminah, sebab jika benci kepada salah satu perangai maka akan rela dengan akhlak yang lain atau beliau bersabda yang lainnya”. [HR Muslim].

11. Jika seorang suami ingin memiliki isteri yang berakhlak mulia, hati yang penuh dengan rasa cinta, selalu tanggap dan suka berhias untuk suami, hendaklah dia juga berlaku seperti itu agar hatinya terpengaruh dan selalu menaruh rasa hormat.

12. Menjauhkan diri dari pandangan yang diharamkan, karena yang demikian itu merupakan panah iblis yang bisa menjerumuskan diri kepada perbuatan haram, atau sang suami kurang puas dan merendahkan isteri sehingga muncul percekcokan dan pertengkaran.

13. Telpon bisa menjadi sebab segala bentuk kehancuran dan musibah rumah tangga, karena membawa hanyut wanita pelan-pelan ke dalam kerusakan dan fitnah, hingga berani keluar rumah sesuka hatinya tanpa ada yang mengawasi dan memantau, serta tanpa ditemani mahram ketika pergi ke pasar atau rumah sakit atau yang lainnya, hingga timbul berbagai musibah dan bencana yang menimpa manusia baik laki-laki atau perempuan.

14. Bersikap wajar dalam mengawasi isteri dan selalu mengambil jalan tengah antara memata-matai dan bersikap was-was dan antara sikap lalai dan cemburu buta.

15. Kemesraan, kebahagian dan ketenangan hidup isteri bersama suami adalah sesuatu yang paling mahal dan tidak ada yang bisa menandinginya walau dengan orang tua dan keluarga. Dengan modal itu segala problem kejiwaan dan gangguan mental seperti kesepian akibat jauh dari keluarga bisa terobati. Tidak sepantasnya seorang gadis menolak lamaran laki-laki yang sesuai dan cocok baik dari sisi agama, akhlak dan tabiat.

16. Seorang isteri wajib bersikap baik dan menaruh kasih sayang kepada keluarga dan kerabat suami karena demikian itu bagian dari berbuat baik kepada suaminya sehingga kecintaan suami kepadanya semakin dalam.

17. Sikap merugikan atau memperkeruh rumah tangga baik dari pihak suami atau isteri sebagai tanda hilangnya muru’ah dan adab yang bisa merusak popularitas dan nama baik pelakunya, sehingga dia menjadi orang yang dibenci dan dijauhi baik dari kalangan orang dekat, orang jauh, tetangga dan teman karib.

18. Termasuk langkah menghidupkan sunnah sahabat dan salafus salih orang tua hendaknya melamar pemuda salih untuk puterinya dan membantu meringankan beban biaya pernikahan, sebagaimana riwayat dari Umar bin Khaththab, beliau berkata, “Saya datang kepada Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah maka ia berkata,” Saya akan pikirkan dahulu”. Saya (Umar) menunggu beberapa malam lalu ia bertemu denganku dan ia berkata,” Untuk sementara saya tidak punya keinginan untuk menikah”. Umar berkata,” Saya bertemu Abu Bakar As Shiddiq dan saya berkata kepadnya,” Jika engkau setuju maka aku akan menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar. Abu Bakar terdiam dan tidak memberi jawaban apa-apa. Aku menahan perasaan dari Abu Bakar sebagaimana Utsman lalu setelah aku menunggu beberapa malam Rasulullah melamar Hafshah dan saya menikahkan dia dengan beliau. Lalu aku bertemu Abu Bakar dan dia berkata,” Barang kali kamu kecewa denganku ketika engkau menawarkan Hafshah kepadaku tapi aku tidak memberi jawaban apapun”. Umar berkata,” Aku berkata,” Ya”. Abu Bakar berkata,” Bukan saya tidak mau menanggapi tawaranmu, namun saya telah mengetahui bahwa Rasulullah pernah menyebutnya dan aku tidak mau menyebarkan rahasia Rasulullah. Jika seandainya Rasulullah tidak menikahinya maka aku akan menerima tawaranmu itu”. ([HR Bukhari].

19. Menerapkan ajaran Islam dalam rangka untuk memelihara dan menjaga keutuhan rumah tangga serta merasa tanggung jawab terhadap pendidikan agama keluarga. Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَ الأَمِيْرُ رَاعٍ وَ الرِّجَالُ رَاعٍ عَلى أَهْلِ بَيْتِهِ وَ المَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ على بَيْتِ زَوْجِهَا

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya”. [HR Bukhari].

20. Memilih tetangga yang baik dan menjauhi tentangga yang buruk, terutama menjauhkan isteri dan anak sebab tetangga bisa memberi pengaruh besar baik dari sisi kebaikan dan keburukan. Rasulullah telah menafikan iman dari orang yang tidak memberi rasa aman kepada tetangganya, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ مَنْ يَا رَسُلَ الله؟ قال الذي يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman dan demi Allah ia tidak beriman. Ditanyakan: Siapakah wahai Rasulullah? Beliau bersabda,”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dengannya.” [HR Bukhari dan Muslim].

 Ahli hikmah mengatakan,”Pilihlah tetangga lebih dahulu, baru rumah”.

 21. Ketika seorang isteri tidak taat, membangkang dan berperangai buruk maka sang suami boleh menggunakan kekuasaannya sesuai dengan ketentuan syariat sebagai berikut: Langkah pertama, memberi nasihat dengan baik. Langkah kedua, jika tidak mau menerima nasihat maka ia boleh mengangkat penengah untuk mendamaikan pihak yang sedang sengketa sebagaimana firman Allah.

 وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ، وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا ،

 “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di termpat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. [An Nisa’ :34-35].

22. Meskipun Islam memberi kekuasaan bagi laki-laki untuk menjatuhkan sanksi kepada isteri, namun Islam juga memberi peringatan keras kepada kaum laki-laki agar tidak menyalahgunakan kekuasaan tersebut, dan menghindari sebisa mungkin sanksi pukulan. Nabi pernah ditanya,”Apakah hak isteri atas suami?” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 أَنْ تُطْعِمهاَ إِذَا طَعِمْتَ وَ تَكْسُوْها إِذَا اكْتَسَيْتَ وَ لاَ تَضْرِبْ الوَجْهَ وَ لاَ تُقَبِّحْ وَ لاَ تهجر إلاَّ في البَيْتِ

“Jika kamu makan berilah dia makan, bila kamu berpakaian berilah dia pakaian, jangan memukul bagian wajah, jangan mencela dan janganlah kamu mendiamkan kecuali di rumah saja”. [HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 يعمد أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جِلْدَ العَبْدِ، فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ

“Di antara kalian ada yang sengaja mendera isterinya seperti mendera budak lalu tidur bersama dengannya di akhir harinya”. [HR Muttafaqun alaih].

 (Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2004M- 2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, diambail dari situs  www.almanhaj.or.id]

 ________

Footnote 1. Diangkat dari kitab Al Zaujatut Matsaliyah, Khaulah Darwisi, 40 Nasihat Ishlah Al Buyut, Muhammad Shalih Al Munajid dan beberapa kitab lainya yang berhubungan dengan rumah tangga muslim