Menghidupkan Sunnah Rasulullah (1/2)

بسم الله الرحمن الرحيم

 Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Karena konsekuensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[1]

Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka, orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[2]

Kedudukan dan keutamaan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Islam 

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[3], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya, kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4).

Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, ketika beliau ditanya tentang akhlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh, akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an.[4]

Ini berarti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[5]

Demikian pula dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzaab: 21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.[6]

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[7]

Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[8]

Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun.”[9]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab Sunan Ibnu Majah pada bab: (Keutamaan) Orang yang Menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Telah Ditinggalkan (Manusia).[10]

Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia.”[11]

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A
Artikel www.manisnyaiman.com


[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).  

[2] Kitab “Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).

[3] Lihat kitab “Taujiihun Nazhar Ila Ushuulil Atsar” (1/40).

[4] HSR Muslim (no. 746).

[5] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).

[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).

[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

[9] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Sunan Ibnu Majah” (no. 173).

[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).

[11] Kitab “Manaasikul Hajji Wal ‘Umrah” (hal. 92).