Ringkasan Hukum Sujud Sahwi

Ringkasan Hukum Sujud Sahwi dari penjelasan Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah-.

Permasalahan Kondisi Tempat sujud sahwi
1 Salam sebelum berakhirnya sholat : Jika ia mengucapkan salam padahal sholatnya belum selesai dalam keadaan lupa
  • Jika dia baru ingat setelah selang waktu yang lama maka mengulangi sholat dari awal.
  • Jika dia ingat setelah selang waktu yang pendek maka tinggal menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian mengucapkan salam
Setelah salam
2 Tambahan dalam sholat : Jika ia menambah dalam sholatnya baik menambah berdirinya, atau duduknya, atau ruku’nya, ataupun sujudnya
  • Jika ia baru ingat setelah selesai dari melakukan tambahan tersebut maka tinggal sujud sahwi saja
  • Jika dia ingat tatkala sedang akan menambah maka dia harus kembali
Setelah salam
3 Meninggalkan rukun sholat : Jika ia meninggalkan salah satu rukun sholat (selain takbirotur ihroom, karena jika yang ditinggal takbirotul ihrom maka sholatnya harus diulang).
  • Jika telah sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka rakaat yang lalu tidak dianggap, dan rakaat yang selanjutnya inilah yang menduduki posisi rakaat yang lalu
  • Kalau ia belum sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka ia harus kembali ke tempat rukun yang ia tinggalkan lalu mengerjakan rukun tersebut dan melanjutkan sholatnya
Setelah salam
4 Ragu dalam sholat : Jika ia ragu dalam sholat apakah sudah sholat dua rakaat atau tiga rakaat?, maka ada dua kemungkinan :
  • Jika ia lebih condong pada salah satu dari dua kondisi tersebut maka ia amalkan, kemudian ia sempurnakan sholatnya dan salam
  • Jika bimbang dan tidak condong pada salah satu kondisi, maka ia amalkan yang ia yakini (pasti) yaitu jumlah rakaat yang paling kecil (dalam hal ini anggap saja ia baru sholat 2 rakaat)
  • setelah salam
  • sebelum salam
5 Jika ia meninggalkan salah satu kewajiban sholat (diantarannya misalanya adalah meninggalkan tasyahhud awal atau lupa membaca subhaana Robbiyal ‘Adziim tatkala ruku’)
  • Ia baru ingat setelah berpindah ke gerakan (rukun) selanjutnya (dalam hal meninggalkan tasyahhud awal maka ia telah tegak berdiri (ke rakaat ketiga), maka ia lanjutkan sholatnya dan tidak kembali duduk untuk tasyahhud
  • Jika ia ingat tatkala hendak bangun (namun belum sampai tegak berdiri) maka ia kembali duduk untuk tasyahhud
  • Jika ia ingat sebelum bangkit (sebelum kedua pahanya diangkat) maka ia tasyahhud dan tidak perlu sujud sahwi karenapada dasarnya belum ada tambahan atau kekurangan
sebelum salam

Catatan :

1-    Semua perkara-perkara diatas (baik meninggalkan rukun atau kewajiban, atau mengurangi atau menambah) jika dikerjakan dengan sengaja maka sholat menjadi batal.
2-    Barangsiapa yang meninggalkan sebuah perkara yang mustahab dalam sholat maka tidak perlu sujud sahwi
3-    Sujud sahwi disyari’atkan baik dalam sholat wajib maupun sholat sunnah
4-    Tidak disyari’atkan sujud sahwi dalam sholat janazah, karena asalnya sholat janazah tidak ada ruku’ dan sujud
5-    Sujud sahwi dua kali sujud, terkadang dikerjakan sebelum salam dan terkadang setelah salam. Jika dikerjakan setelah salam maka harus salam lagi.
6-    Sujud sahwi dikerjakana karena adanya tambahan, atau kekurangan atau keraguan
7-    Sujud sahwi dikerjakan setelah salam dikarenakan 2 sebab,

Sebab pertama : Karena adanya tambahan, dan bentuk-bentuk tambahan ada tiga :
–    Menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud (adapun menambah selain dari 4 perkara ini, seperti menambah mengangkat kedua tangan di tempat2 yang tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan maka tidak disyari’atkan sujud sahwi, demikian juga misalnya membaca bacaan yang bukan pada tempatnya seperti membaca doa tasyahhud tatkala berdiri karena lupa, maka tidak perlu sujud sahwi)
Dalilnya hadits Ibnu Mas’ud dimana ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat dzhuhur 5 raka’at, maka dikatakan kepada beliau, “Apakah jumlah raka’at telah ditambah?”, Maka Nabi berkata, “Memangnya ada apa?”, maka ada yang berkata, “Engkau sholat 5 raka’at”. Maka beliaupun sujud dua kali setelah salam (HR Al-Bukhari no 1168 dan Muslim no 572)

–    Salam sebelum berakhirnya sholat, dan hal ini termasuk tambahan dalam sholat,  karena tatkala ia salam sebelum waktunya sehingga mengakhiri sholatnya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan sholatnya, maka di akhir sholat ia akan salam lagi, karenanya ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam.

Dalilnya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami para sahabat pada waktu sholat dzuhur atau ashat, lalu tatkala sampai raka’at kedua maka beliau salam. Lantas beliau keluar segera menuju salah satu pintu mesjid. Orang-orangpun berkata, “Sholat telah diqosorkan”. Nabipun berdiri ke sebuah kayu di mesjid lantas beliau bersandar di atasnya, seakan-akan beliau dalam keadaan marah. Lalu ada seseorang yang berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau lupa ataukah sholat telah diqosor?”. Nabi berkata, “Aku tidak lupa dan sholat tidak diqosor”. Orang itu berkata, “Engkau telah lupa”. Nabi berkata kepada para sahabat, “Apa benar apa yang telah dikatakan orang ini?”, mereka menjawab, “Benar”. Maka Nabipun maju lalu menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian beliau salam kemudian sujud dua rakaat lalu salam lagi (HR Al-Bukhari no 468 dan Muslim no 573)
–    Meninggalkan rukun sholat, karena jika dia ingat sebelum sampai atau pas sampai pada rukun yang ia tinggalkan pada rakaat berikutnya (sebagaimana kondisi 3a dan 3b di tabel) maka pada hakekatnya ia telah melakukan tambahan gerakan sholat.
Dalilnya adalah dalil diatas tentang salam sebelum berakhirnya sholat, karena barang siapa yang salam sebelum berakhirnya sholat (misalanya salam pada rakaat kedua tatkala sholat dzhuhur) maka pada hekekatnya telah meninggalkan 2 rakaat yang lainnya yang merupakan rukun-rukun sholat dzuhur.
Adapun rukun-rukun yang lain seperti( seseorang yang lupa untuk duduk diantara dua sujud, dan otomatis lupa sujud yang kedua, maka ia telah meninggalkan salah satu rukun sholat) maka hukumnya sama, yaitu sujud sahwinya setelah salam.
Sebab kedua :   jika terjadi keraguan namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4a di tabel)
Dalilnya adalah sabda Nabi :

وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu kecondongan yang lebih kuat-pent) kemudian ia sempurnakan sholatnya kemudian salam kemudia sujud dua kali” (HR Al-Bukhari no 392 dan Muslim no 572)
8-    Sujud sahwi dikerjakan sebelum salam dikarenakan 2 sebab
–    Sebab pertama : karena ada kekurangan, dalam hal ini adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban sholat seperti tasyaahud awal
Dalilnya dari sahabat Abdullah bin Buhainah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

صلى بِهِمْ الظَّهْرَ فَقَامَ في الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ لم يَجْلِسْ فَقَامَ الناس معه حتى إذا قَضَى الصَّلَاةَ وَانْتَظَرَ الناس تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ

mengimami mereka sholat dzuhur, beliaupun berdiri setelah dua rakaat (yaitu ke rakaat ketiga-pent) dan tidak duduk (tasyahhud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai sholat dan orang-orang menunggu beliau salam, beliaupun bertakbir dalam keadaan duduk lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam” (HR Al-Bukhari no 795 dan Muslim no 570)
Adapun jika meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lain (seperti tidak membaca tasbih tatkala ruku’ atau tatkala sujud) maka hukumnya sama diqiaskan dengan jika meninggalkan tasyahhud awal. Oleh karenanya baragsiapa yang lupa membaca tasbih tatkala ruku’ hingga akhirnya ia telah i’tidal maka hendaknya ia meneruskan sholatnya dan tidak kembali ruku’ untuk membaca tasbihnya yang ia lupakan.
–    Sebab kedua : terjadi keraguan namun ia tidak bisa merojihkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4b di tabel)
Dalilnya sabda Nabi :

إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang diantara kalian ragu dalam sholatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia sholat, apakah tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut dan dia bangun sholatnya di atas yang dia yakini (yaitu jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti-pent) kemudian ia sujud dua kali sebelum salam” (HR Muslim no 571)

Sebelum salam Sesudah salam
kekurangan keraguan tanpa ada kecondongan tambahan keraguan namun ada kecendongan
Menambah berdiri atau ruku’ atau duduk atau sujud Salam sebelum berakhirnya sholat Meninggalkan salah satu rukun saholat

9-    Keraguan tidak diperhatikan (yaitu tidak perlu sujud sahwi) jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering (yaitu selalu muncul setiap sholat), atau muncul setelah selesai sholat.
10-    Jika imam lupa lalu sujud sahwi  maka wajib bagi makmum untuk mengikuti meskipun sang makmum tidak lupa. Kecuali masbuq, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam maka sang masbuq mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan sholatnya.
11-    Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya, adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti

سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو atau  ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا

maka tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diringkas dari Risalah fi sujuud As-Sahwi dan As-Syarhul Mumti’ 3/336-399 dan fataawaa Nuur ‘alaa Ad-Darb

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 22 Syawal 1431 H / 01 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja (firanda.com)

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Perubahan Nama Tidak Dapat Mengubah Hakikat dan Hukum Sesuatu

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kepada kita metode yang paling efektif dan selamat dalam mengetahui dan memahami syariat Allah Ta’ala yaitu dengan mengetahui, memahami dan menguasai setiap nama dan istilah yang ada dalam syariat, beliau berkata,

“Telah diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya batasan-batasan halal dan haram melalui firman-Nya. Dan Allah juga telah mencela orang-orang yang tidak mengetahui batasan-batasan yang telah Allah wahyukan kepada  Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana ditegaskan dalam surat at-Taubah, ayat 97).

Batasan-batasan yang telah Allah wahyukan adalah Kalamullah, sehingga batasan-batasan syariat Allah senantiasa memperhatikan setiap pengertian nama/istilah  yang akan menetapkan hukum halal dan haram. Itulah batasan-batasan syariat yang diwahyukan kepada Rasul-Nya. Batasan nama/istilah tersebut adalah kandungannya yang telah ditetapkan dalam ilmu bahasa atau syariat (definisi menurut bahasa atau istilah syariat -pen.), sehingga tidak ada yang masuk ke dalamnya sesuatu apapun yang tidak termasuk darinya, dan tidak pula dikecualikan sesuatu apapun yang termasuk bagian darinya.

Nama-nama yang memiliki batasan-batasan dalam Kalamullah  dan Rasul-Nya ada tiga macam:

Nama-nama yang memiliki batasan-batasan (definisi/pengertian) secara bahasa (diistilahkan dalam ilmu ushul fiqih dengan hakikat lughowiyyah -pen.), misalnya kata matahari, bulan, daratan, lautan, malam, siang. Barangsiapa yang mengartikan nama-nama ini dengan selain kandungannya, atau mengkhususkannya pada sebagian kandungannya, atau mengeluarkan sebagian kandungannya, maka ia telah melampaui batasannya.

Nama-nama yang memiliki batasan-batasan (definisi/pengertian) dalam syariat (diistilahkan dalam ushul fiqih dengan hakikat syariiyah -pen.), misalnya kata shalat, puasa, haji, zakat, iman, Islam, takwa dan yang serupa. Cakupan nama-nama ini terhadap kandungannya serupa dengan cakupan nama-nama jenis pertama terhadap kandungannya dalam ilmu bahasa.

Nama-nama yang memiliki batasan-batasan (definisi/pengertian) dalam ‘urf/adat-istiadat (diistilahkan dalam ushul fiqih dengan hakikat ‘urfiyah -pen.). Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidaklah pernah memberikan batasan/definisi terhadap nama-nama jenis ini, selain definisi yang telah dikenal dalam adat. Sebagaimana nama-nama ini juga tidak pernah memiliki definisi tersendiri dalam ilmu bahasa. Misalnya kata-kata safar, sakit yang membolehkan untuk mengambil rukhshah/keringanan, safah/pandir dan gila yang menjadi penyebab hukum hajr (pembatasan perilaku seseorang)… Cakupan nama-nama ini terhadap kandungannya serupa dengan cakupan nama-nama pada dua jenis pertama terhadap kandungannya.” (I’ilam al-Muwaqi’in oleh Ibnu al-Qayyim, 2/485-486).

Ketiga jenis penafsiran yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim di atas, tidaklah boleh dicampur-adukkan, agar tidak menimbulkan kerusakan dalam pemahaman dan kesimpulan. Penjelasan Ibnul Qayyim di atas, sebenarnya jauh-jauh hari telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, di antaranya:

عن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه أنه سمع رسول الله  eيقول: ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها. رواه أبو داود، وله شواهد كثيرة.

Dari Abu Malik al-’Asy’ari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamr, dan mereka menamakannya dengan selain namanya.” (HR. Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid).

Bila kita lihat dalam kamus-kamus bahasa Arab kita akan dapatkan, bahwa yang dinamakan khamr secara bahasa, adalah perasan (jus) anggur yang memabukkan. Sehingga jika kita memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan khamr hanya berdasarkan pemahaman bahasa, maka kita akan katakan bahwa jus selain anggur bukan khamr, walaupun memabukkan. Oleh karena itu, banyak orang (thalabah al-ilmi) yang mengharamkan minuman memabukkan yang terbuat dari selain anggur, dengan dalil qiyas. Padahal jika kita memahami kata khamr secara istilah syar’i, maka kita tidak memerlukan lagi dalil qiyas dalam mengharamkan minuman tersebut. Sebagai buktinya, mari kita simak dan renungkan hadits berikut,

ليشربن أناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها وتضرب على رؤوسهم المعازف يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم قردة وخنازير. رواه أحمد وأبو داود والبيهقي وغيرهم

“Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamr, dan mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil ditabuh alat-alat musik di atas kepala mereka, lalu Allah akan menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi.” (HR. Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid).

Ibnu Hajar al-Asqalaani asy-Syafi’i berkata, “Pada hadits ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai cara untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan cara mengubah penamaannya. Dan pada hadits ini pula dapat disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa mengikuti ‘illah-nya (alasannya), dan ‘illah diharamkannya khamr ialah karena memabukkan, maka acap kali suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu pasti haram, walau namanya telah berubah, bukan lagi khamr. Ibnu al-’Arabi berkata, ‘Hadits ini adalah dasar bagi kaidah: Setiap hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah, tidak dengan sekadar namanya saja.’” (Fathu al-Baari oleh Ibnu Hajar al-Asqalaani, 10/56).

Dari hadits dan penjelasan Ibnu Hajar di atas, kita akan mendapatkan beberapa pelajaran penting sebagai berikut:

Kata khamr dalam syariat memiliki makna khusus, sehingga setiap minuman yang punya makna sama dengan khamr maka dinamakan khamr, walaupun masyarakat menamakannya dengan nama lain.

Bahwa yang menjadi pedoman (manathul hukmi) dalam menghukumi suatu masalah adalah hakikatnya (realita), bukan sekadar penamaan.

Hakikat khamr dalam syariat tidak berubah hanya sekadar perubahan nama. Dengan kata lain, nama tidak dapat mengubah hakikat.

Kaitan pembahasan masalah ini dengan permasalahan riba adalah nama untuk piutang (dain/qardh) yang dalam dunia perbankan telah diubah menjadi wadi’ah (tabungan). Berdasarkan kaidah di atas, maka perubahan nama semacam ini, tidak dapat mengubah sedikitpun status piutang (dain/qardh) dari proses penyerahan uang nasabah kepada bank. Sehingga tidak mengherankan bila para ulama memasukkan tabungan di perbankan dalam cakupan kaidah fikih di atas,

كل قرض جر نفعا فهو ربا.

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”

Penamaan akad ini dengan nama wadi’ah tak lain hanyalah bentuk tipu muslihat dan kebohongan terhadap publik, yang semakin menjadikan dosa pelakunya berlipat ganda. Dosa memakan riba, berdusta dan menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: (لا ترتكبوا ما ارتكبت اليهود فتستحلوا محارم الله بأدنى الحيل). رواه ابن بطة وحسنه ابن كثير ووافقه الألباني

“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat.” (HR. Ibnu Baththah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani).

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

SETELAH RAMADHAN, KOK MALAH…?

Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai

Ramadhan tidak terasa telah berlalu. Sungguh sedih rasanya kita meninggalkannya. Tetapi apalah daya, kita harus berpisah dengannya, sambil menanti Ramadhan tahun depan.

Sekarang kita berada di bulan Syawwal. Bulan yang kita di-sunnah-kan untuk berpuasa enam hari di dalamnya. Melaksanakannya tidak diharuskan untuk berurutan, tetapi bisa dipisah-pisah selama masih di bulan Syawwal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ )).

Artinya: “Barang siapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengiringinya dengan (berpuasa) enam (hari) di bulan Syawwal, maka seolah-olah dia telah berpuasa sepanjang masa (satu tahun-pen).”[1]

Pada bulan ini juga –berdasarkan pendapat sebagian ulama- di-sunnah-kan untuk menikah atau menikahkan anak perempuan kita, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi  ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pada bulan ini. Menurut keyakinan kaum Jahiliyah dulu, bulan Syawwal adalah bulan sial, sehingga mereka tidak mau menikah atau menikahkan anak perempuannya pada bulan ini.

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى. قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِى شَوَّالٍ.

Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal dan menggauliku juga di bulan Syawwal. Tidak ada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih beruntung daripadaku.” (Seorang rawi) berkata, “ ‘Aisyah memandang bahwa di-sunnah-kan untuk mengawinkan kaum wanita di bulan Syawwal.”[2]

An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Hadits ini menunjukkan akan di-sunnah-kannya menikahkan (wanita), menikahi dan menggaulinya (untuk pertama kali) di bulan Syawwal. Ulama-ulama kami telah menyebutkan hal ini. Mereka berdalil dengan hadits ini. Maksud dari perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha itu adalah untuk membantah apa yang diyakini pada masa jahiliah dan apa yang merupakan takhayyul orang-orang zaman sekarang. Mereka membenci untuk menikahkan, menikah dan menggauli (wanita) pada bulan Syawwal. Ini semua adalah batil dan tidak ada asalnya.” [3]

Pada bulan ini juga terdapat kemungkaran yang banyak dikerjakan oleh kaum muslimin. Mereka  membuat hari raya baru pada tanggal 8 Syawwal. Mereka menyebutnya dengan ‘Idul-Abrar atau di masyarakat kita sering disebut dengan Lebaran Ketupat, yaitu lebaran setelah berhasil berpuasa enam hari si bulan Syawwal. Lebaran (hari raya) seperti ini tidak ada dalil, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita memperingatkan kaum muslimin agar jangan ikut-ikutan dalam merayakannya, karena hal itu adalah hal baru dalam agama Islam.

Pada bulan Syawwal kebanyakan kaum muslimin pada zaman ini menganggap bahwa ‘Idul-Fithr adalah hari pembalasan/hari pertanda untuk kembali meninggalkan berbagai macam ibadah yang telah dilakukan di bulan Ramadhan atau hari untuk kembali berbuat maksiat. Na’udzubillah min dzalika.

Masjid-masjid yang tadinya setiap shalat lima waktu di bulan Ramadhan penuh dengan jamaah, apalagi pada waktu Subuh, kok malah menjadi sepi setelah kepergian bulan Ramadhan.

Rumah-rumah kaum muslimin yang tadinya di bulan Ramadhan dipenuhi dengan bacaan Al-Qur’an, kok malah menjadi seperti bar yang dipenuhi dengan musik-musik.

Para wanita yang tadinya terbiasa berpergian dengan memakai busana muslim, kok malah menanggalkannya dan bahkan tidak malu-malu untuk mempertontonkan auratnya.

Orang-orang kaya yang di bulan Ramadhan rajin bersedekah dan memberi makan kaum fuqara’, kok malah tidak bersedekah sama sekali.

Sungguh berubah bukan pemandangan kaum muslimin setelah bulan Ramadhan?

Ibadah di bulan Ramadhan tidak diragukan sangat mudah kita laksanakan, sangat banyak dan sangat beragam (variatif). Pada bulan itulah, sebenarnya kita harus melatih diri kita untuk bisa ber-istiqamah pada bulan-bulan setelahnya sampai datang Ramadhan berikutnya.

Kita tidak dituntut untuk beribadah sebanyak apa yang kita lakukan di bulan Ramadhan, tentunya itu sangat berat sekali. Akan tetapi, kita harus berusaha untuk mempertahankan ibadah-ibadah yang pernah kita lakukan di bulan Ramadhan meskipun lebih sedikit, tetapi tetap istiqamah, yaitu tetap menjalankan ibadah-ibadah tersebut secara berkesinambungan tanpa henti-henti hingga akhir hayat kita nanti.

Allah subhanahu wa ta’ala memberikan ganjaran yang besar bagi orang yang beriman dan dapat ber-istiqamah dengan firman-Nya:

(( إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ () أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ))

Artinya: “ (13) Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqamah), maka tidak ada ada ketakutan pada diri mereka dan tidaklah mereka bersedih. (14) Mereka adalah penghuni-penghuni surga yang kekal di dalamnya, sebagai ganjaran atas apa yang mereka amalkan.” (QS Al-Ahqaf : 13-14)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadits berikut:

عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : (( يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ. ))

Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullah! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[4]

Oleh karena itu, sebisa mungkin kita tetap menjalankan ibadah-ibadah yang dulu kita kerjakan di bulan Ramadhan, meskipun jumlahnya tidak sebanyak itu.

Allah subhanahu wa ta’ala menyukai amalan-amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun itu sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ )).

Artinya: “Wahai manusia! Kerjakanlah amalan-amalan yang kalian mampu! Sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalianlah yang merasa bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang berkesinambungan walaupun sedikit.”[5]

Agar dapat selalu ber-istiqamah dalam beribadah kita bisa menempuh cara-cara sebagai berikut:

  1. Mengerjakan seluruh kewajiban, seperti: shalat lima waktu, zakat, haji bagi yang mampu, memberi nafkah istri, memberikan hak-hak orang lain, berbuat baik kepada tetangga dan orang-orang di sekitar kita.
  2. Mengerjakan amalan-amalan sunnah yang mudah kita lakukan dan bisa dibanggakan di hadapan Allah nanti, seperti: memperbanyak shalat malam, bersedekah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, membaca zikir-zikir dan doa-doa dll.
  3. Menjauhi segala perbuatan yang diharamkan, seperti: meninggalkan kewajiban, berzina, melihat aurat yang bukan mahramnya, berjudi, menyakiti orang lain, menggunjing orang lain dll.
  4. Menjauhi hal-hal yang makruh (dibenci), meskipun tidak sampai jatuh kepada perbuatan yang haram.
  5. Menghindari hal-hal mubah (boleh/halal) yang kita tidak terlalu memerlukannya, seperti: makan dengan berbagai hidangan yang mahal, membeli mobil yang sangat mewah, alat-alat elektronik yang canggih dan mahal dll yang kita sebenarnya tidak terlalu memerlukannya.
  6. Terus-menerus beribadah sampai ajal menjemput.
  7. Berteman dengan orang-orang yang soleh yang selalu bisa menasihati kita dalam kebaikan.
  8. Menghadiri majelis-majelis ta’lim dan menjauhi majelis-majelis yang melalaikan dari beribadah kepada Allah, seperti: majelis senda-gurau, membicarakan hal-hal yang tidak penting, membicarakan kemewahan dunia dll.

Demikianlah beberapa hal yang bisa penulis sampaikan. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang lalai setelah berpisah dengan bulan Ramadhan dan bisa tetap istiqamah sampai ajal menjemput kita. Amin.

Tamma bi fadhlillah wa karamihi. Walhamdulillahi rabbil-‘alamin.

Daftar pustaka:

  1. Al-Istiqamah, Haqiqatuha, Asbabuha wa Atsaruha. Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak.
  2. As-Sunan wal-Mubtada’at Al-Muta’aliqah bil-Adzkar wash-Shalawat. Muhammad Abdussalam Al-Khadhir.
  3. Tsawabitul-iman ba’da Ramadhan. Shalah Sulthan.
  4. Dan lain-lain sebagaimana telah dicantumkan di catatan kaki.

[1] HR Muslim no. 2815

[2] HR Muslim no. 3538

[3] Lihat Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi.

[4] HR Al-Bukhari no. 1152

[5]HR Al-Bukhari no. 5861